Sejarah
Perkembangan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah
varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua
franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Kerajaan Sriwijaya
(dari abad ke-7 Masehi) memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna)
sebagai bahasa kenegaraan. Hal ini diketahui dari empat prasasti berusia
berdekatan yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan
tersebut. Pada saat itu bahasa Melayu yang digunakan bertaburan kata-kata
pinjaman dari bahasa Sanskerta. Sebagai penguasa perdagangan di kepulauan ini
(Nusantara), para pedagangnya membuat orang-orang yang berniaga terpaksa
menggunakan bahasa Melayu, walaupun secara kurang sempurna. Hal ini melahirkan
berbagai varian lokal dan temporal, yang secara umum dinamakan bahasa Melayu
Pasar oleh para peneliti. Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuna di Jawa
Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad
ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di Pulau Jawa. Keping
Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila, Pulau Luzon, berangka tahun 900
Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Kajian
linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat dua
dialek bahasa Melayu Kuna yang digunakan pada masa yang berdekatan. Sayang
sekali, bahasa Melayu Kuna tidak meninggalkan catatan dalam bentuk
kesusasteraan meskipun laporan-laporan dari Tiongkok menyatakan bahwa Sriwijaya
memiliki perguruan agama Buddha yang bermutu.
Pada abad ke-15
berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk resmi bahasa Melayu karena
dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu
Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar
Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih halus, penuh
sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pada akhir abad ke-19
pemerintah kolonial Hindia-Belanda melihat bahwa bahasa Melayu (Tinggi) dapat
dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi. Promosi
bahasa Melayu dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya
sastra dalam bahasa Melayu. Pada periode ini mulai terbentuklah “bahasa
Indonesia” yang secara perlahan terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu
Riau-Johor.
Bahasa Melayu di
Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun
pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu
masih menggunakan bahasa daerah yang jumlahnya mencapai 360 bahasa.
Pada pertengahan
1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay Archipelago bahwa
“penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari
cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa
orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia
Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda.”
Jan Huyghen van
Linschoten di dalam bukunya Itinerario menuliskan bahwa “Malaka adalah tempat
berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan
mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik
dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang
menguntungkan, menjadi bandar yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya
yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas di
antara bahasa-bahasa di Timur Jauh.”
Pada awal abad ke-20,
bahasa Melayu pecah menjadi dua. Di tahun 1901, Indonesia di bawah Belanda
mengadopsi ejaan Van Ophuijsen sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di bawah
Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.
Bahasa Indonesia secara
resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober
1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad
Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada
Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa : “Jika mengacu pada
masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada
dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan
Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan
menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.”
Selanjutnya
perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh
sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar,
Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar.
Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis,
maupun morfologi bahasa Indonesia.
Peristiwa-peristiwa
penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia
1. Tahun
1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Van Ophuijsen yang dibantu oleh
Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam
Kitab Logat Melayu.
2. Tahun
1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang
diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian
pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan
novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok
tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran
bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
3. Tanggal
16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya.
Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan
bahasa Indonesia.
4. Tanggal
28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu
menjadi bahasa persatuan Indonesia.
5. Tahun
1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai
Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
6. Tahun
1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia.
7. Tanggal
25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil
kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia
saat itu.
8. Tanggal
18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu
pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
9. Tanggal
19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen
yang berlaku sebelumnya.
10. Tanggal
28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di
Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk
terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa
kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
11. Tanggal
16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan
penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato
kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden
No. 57 tahun 1972.
12. Tanggal
31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi
berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
13. Tanggal
28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di
Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang
ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa
Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia.
14. Tanggal
21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta.
Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang
ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara
Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat
tercapai semaksimal mungkin.
15. Tanggal
28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di
Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia
dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei
Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu
ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
16. Tanggal
28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di
Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta
tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong,
India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan
statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya
Undang-Undang Bahasa Indonesia.
17. Tanggal
26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel
Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan
Bahasa.
Peristiwa-peristiwa
yang mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia
1. Budi
Otomo.
Pada tahun 1908, Budi Utomo yang
merupakan organisasi yang bersifat kenasionalan yang pertama berdiri dan tempat
terhidupnya kaum terpelajar bangsa Indonesia, dengan sadar menuntut agar
syarat-syarat untuk masuk ke sekolah Belanda diperingan,. Pada kesempatan
permulaan abad ke-20, bangsa Indonesia asyik dimabuk tuntutan dan keinginan
akan penguasaan bahasa Belanda sebab bahasa Belanda merupakan syarat utam untuk
melanjutkan pelajaran menambang ilmu pengetahuan barat.
2. Sarikat
Islam.
Sarekat islam berdiri pada tahun
1912. mula-mula partai ini hanya bergerak dibidang perdagangan, namun bergerak
dibidang sosial dan politik jga. Sejak berdirinya, sarekat islam yang bersifat
non kooperatif dengan pemerintah Belanda dibidang politik tidak perna
mempergunakan bahasa Belanda. Bahasa yang mereka pergunakan ialah bahasa
Indonesia.
3. Balai
Pustaka.
Dipimpin oleh Dr. G.A.J. Hazue pada
tahu 1908 balai pustaku ini didirikan. Mulanya badan ini bernama Commissie Voor
De Volkslectuur, pada tahun 1917 namanya berubah menjadi balai pustaka. Selain
menerbitkan buku-buku, balai pustaka juga menerbitkan majalah.
Hasil yang diperoleh dengan
didirikannya balai pustaka terhadap perkembangan bahasa melau menjadi bahasa
Indonesia dapat disebutkan sebagai berikut :
-
Memberikan kesempatan kepada
pengarang-pengarang bangsa Indonesia untuk menulis cerita ciptanya dalam bahasa
melayu.
-
Memberikan kesempatan kepada rakyat
Indonesia untuk membaca hasil ciptaan bangsanya sendiri dalam bahasa melayu.
-
Menciptakan hubungan antara sastrawan
dengan masyarakat sebab melalui karangannya sastrawan melukiskan hal-hal yang
dialami oleh bangsanya dan hal-hal yang menjadi cita-cita bangsanya.
-
Balai pustaka juga memperkaya dan
memperbaiki bahasa melayu sebab diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
karangan yang akan diterbitkan di balai pustaka ialah tulisan dalam bahasa
melayu yang bersusun baik dan terpelihara.
4. Sumpah
Pemuda.
Kongres pemuda yang paling dikenal
ialah kongres pemuda yang diselenggarakan pada tahun 1928 di Jakarta. Pada hal
sebelumnya, yaitu tahun 1926, telah pula diadakan kongres pemuda yang tepat
penyelenggaraannya juga di Jakarta. Berlangsung kongres ini tidak semata-mata
bermakna bagi perkembangan politik, melainkan juga bagi perkembangan bahasa dan
sastra Indonesia. Dari segi politik, kongres pemuda yang pertama (1926) tidak
akan bisa dipisahkan dari perkembangan cita-cita atau benih-benih kebangkitan
nasional yang dimulai oleh berdirinya Budi Utomo, sarekat islam, dan Jon
Sumatrenan Bond. Tujuan utama diselenggarakannya kongres itu adalah untuk
mempersatukan berbagai organisasi kepemudaan pada waktu itu.
Pada tahun itu
organisasi-organisasi pemuda memutuskan bergabung dalam wadah yang lebih besar
Indonesia muda. Pada tanggal 28 Oktober 1928 organisasi pemuda itu mengadakan
kongres pemuda di Jakarta yang menghasilkan sebuah pernyataan bersejarah yang
kemudian lebih dikenal sebagai sumpah pemuda. Pertanyaan bersatu itu dituangkan
berupa ikrar atas tiga hal, Negara, bangsa, dan bahasa yang satu dalam ikrar
sumpah pemuda.
Peristiwa ini dianggap sebagai awal
permulaan bahasa Indonesia yang sebenarnya, bahasa Indonesia sebagai media dan
sebagai symbol kemerdekaan bangsa. Pada waktu itu memang terdapat beberapa
pihak yang peradaban modern. Akan tetapi, tidak bisa dipumgkiri bahwa cita-cita
itu sudah menjadi kenyataan, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi media
kesatuan, dan politik, melainkan juga menjadi bahasa sastra indonesia baru.
Fungsi Bahasa Indonesia
1. Sebagai
alat komunikasi
Komunikasi
merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan
sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain.
Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh
nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan
kita.
“Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan
saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita
menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam
aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita” (Gorys
Keraf, 1997 : 4).
Pada
saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki
tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan
gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain
yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh
lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini
pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita
menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak
sasaran kita.
Pada
saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga
mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena
itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya,
kata mikro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu,
namun kata kecil atau sempit lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum.
2. Sebagai
alat ekspresi diri
Bahasa
sebagai alat ekspresi diri sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan
identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita,
pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan
kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa
maupun sebagai diri sendiri.
Dengan
bahasa, orang lain akan memahami perasaan yang kita rasakan, misalnya saat kita
mengalami suatu masalah kita menceritakan kepada orang lain menggunakan bahasa,
maka orang lain akan mengerti. Berbeda jika kita hanya diam saja.
3. Sebagai
alat integrasi
Bahasa
disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia
memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian
dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang
lain. Anggota-anggota masyarakat hanya
dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat
komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat
dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan
kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk
memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi
(pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf,
1997 : 5).
Sebagai
contoh saya bersuku sunda bertemu teman saya yang berasal dari suku papua. Jika
kami menggunakan bahasa dari suku kami masing-masing maka kami tidak akan
saling mengerti satu sama lain. Tapi, dengan menggunakan bahasa Indonesia kami
dapat berkomunikasi dengan mudah.
4. Sebagai
alat kontrol sosial
Sebagai
alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan
pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi,
maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku
instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol
sosial.
Ceramah
agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol
sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik merupakan alat kontrol
sosial. Kita juga sering mengikuti diskusi atau acara bincang-bincang (talk
show) di televisi dan radio. Iklan layanan masyarakat atau layanan sosial
merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua
itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk
memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Di
samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain
mengenai suatu hal.
Contoh
fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan
adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang
sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan
marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita
berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat persoalan secara lebih jelas
dan tenang.
Kedudukan Bahasa Indonesia
Berdasarkan sumpah pemuda 1928, kedudukan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional yang berfungsi :
1. Lambang
jati diri (identitas) : yang berarti bahasa Indonesia merupakan simbol dari
Negara Indonesia beserta penduduknya. Dimana
bangsa lain akan mengetahui bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi
Indonesia.
2. Lambang
kebanggaan bangsa : dengan memiliki bahasa Indonesia, kita harus bangga dan
mempertahankan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan republic Indonesia.
3. Alat
pemersatu : alat pemersatu berbagai masyarakat yang mempunyai latar belakang,
etnis dan social budaya yang berbeda-beda.
4. Alat
penghubung antarbudaya dan antar daerah : diantara suku yang beraneka raga mini
diperlukan bahasa pemersatu yakni bahasa Indonesia yang dapat menjadi pemersatu
bangsa dan budaya yang berbeda-beda ini.
Berdasarkan
UUD 1945, kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang berfungsi :
1. Bahasa
resmi negara : Kedudukan pertama dari kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
Negara dibuktikan dengan digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi
kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala
upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun
tulis.
2. Bahasa pengantar
resmi di lembaga-lembaga pendidikan : Kedudukan kedua dari kedudukan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan pemakaian bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak, maka
materi pelajaran yang berbentuk media cetak juga harus berbahasa Indonesia. Hal
ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau
menyusunnya sendiri. Cara ini akan sangat membantu dalam meningkatkan
perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi
(iptek).
3. Bahasa
resmi dalam perhubungan tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan : Kedudukan ketiga dari kedudukan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan digunakannya Bahasa
Indonesia dalam hubungan antar badan pemerintah dan penyebarluasan informasi
kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem
administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan agar isi atau pesan yang
disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh masyarakat.
4. Bahasa
resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta
teknologi : Kedudukan keempat dari kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
Negara dibuktikan dengan penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi, baik
melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun
media cetak lainnya. Karena sangatlah tidak mungkin bila suatu buku yang
menjelaskan tentang suatu kebudayaan daerah, ditulis dengan menggunakan bahasa
daerah itu sendiri, dan menyebabkan orang lain belum tentu akan mengerti.
Referensi :
·
id.wikipedia.org
·
t_wahyu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/4761/BAB1.htm
·
es.slideshare.net/.../bery-toya-toya-sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia
·
bahasa.kompasiana.com/.../sejarah-panjang-sebuah-bahasa-yang-bersejarah-489944.html
·
ml.scribd.com/doc/21562578/Kedudukan-Bahasa-Indonesia