Tulisan ini bertujuan untuk memberikan beberapa catatan penting tentang upaya yang perlu dilakukan dalam membangun daya saing dan kemandirian sains dan teknologi bangsa. Namun sebelum pokok pembahasan tersebut diberikan, berikut ini dijelaskan terlebih dahulu tentang potret kontribusi sains dan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi selama ini sebagai latar belakang analisis. Kemudian dilanjutkan dengan posisi daya saing sains dan teknologi pada lingkup global dan penjelasan mengapa daya saing sains dan teknologi nasional rendah. Bagian akhir dari tulisan ini ditutup dengan catatan utama tentang upaya yang perlu dilakukan dalam dalam membangun daya saing dan kemandirian bangsa berbasis sains dan teknologi.
Kontribusi Sains dan Teknologi dalam Pembangunan Kontribusi sains dan teknologi dalam pembangunan ekonomi setelah satu abad kebangkitan nasional berlalu agaknya masih jauh dari yang diharapkan. Keadaan ini jauh berbeda dengan beberapa negara di Asia, terutama negara yang kurang memiliki sumber daya alam besar seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Negara-negara ini walaupun relatif rendah dalam pemilikan sumber daya alam dan penduduk, namun mampu mencapai pembangunan ekonomi secara berkesinambungan. Peran sains dan teknologi tentu tidak dapat disangsikan telah menjadi salah satu faktor dominan yang menjadikan negara-negara ini berhasil dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (Zuhal, 2007).
Dengan menggunakan penunjuk ukuran Total Factor Productivity (TFP) sebagai ukuran untuk mengetahui peran sains dan teknologi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi tercatat bahwa TFP pada tahun 2007 hanya sebesar 1,38 persen (Bank Indonesia, 2007). Artinya, sumber pertumbuhan ekonomi nasional masih didominasi oleh faktor kapital. Rendahnya peran sains dan teknologi ini bukan hal baru karena telah terjadi selama tahun 1971-2001. Kontribusi sains dan teknologi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi relatif tinggi hanya pada tahun 1991-1995 yakni sebesar 4 persen. Di luar tahun tersebut, sumber pertumbuhan ekonomi nasional berasal dari sains dan teknologi adalah rendah, bahkan negatif khususnya pada periode 1981-1985. Rendahnya kontribusi sains dan teknologi pada periode ini disebabkan adanya perubahan kebijakan industri substitusi impor kepada kebijakan pengembangan proyek padat modal (lihat Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan proyek padat modal pada periode tersebut tidak efisien dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan menggunakan penunjuk ukuran Total Factor Productivity (TFP) sebagai ukuran untuk mengetahui peran sains dan teknologi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi tercatat bahwa TFP pada tahun 2007 hanya sebesar 1,38 persen (Bank Indonesia, 2007). Artinya, sumber pertumbuhan ekonomi nasional masih didominasi oleh faktor kapital. Rendahnya peran sains dan teknologi ini bukan hal baru karena telah terjadi selama tahun 1971-2001. Kontribusi sains dan teknologi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi relatif tinggi hanya pada tahun 1991-1995 yakni sebesar 4 persen. Di luar tahun tersebut, sumber pertumbuhan ekonomi nasional berasal dari sains dan teknologi adalah rendah, bahkan negatif khususnya pada periode 1981-1985. Rendahnya kontribusi sains dan teknologi pada periode ini disebabkan adanya perubahan kebijakan industri substitusi impor kepada kebijakan pengembangan proyek padat modal (lihat Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan proyek padat modal pada periode tersebut tidak efisien dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan demikian, tidak ada pilihan lain, jika kita ingin membangun perekonomian nasional secara berkesinambungan, maka upaya keras meningkatkan peran sains dan teknologi merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Mengapa Daya Saing Sains dan Teknologi Rendah? Menurut Lall (1998), ada lima faktor determinan sebagai penyebab rendahnya pembangunan sains dan teknologi nasional, yakni (1) sistem insentif, (2) kualitas SDM, (3) informasi teknologi dan pelayanan pendukung, (4) dana, dan (5) kebijakan sains dan teknologi sendiri. Dalam hal sistem insentif, misalnya, kebijakan makro ekonomi nasional masih kurang kondusif dalam mendorong pengembangan kemandirian sains dan teknologi. Demikian pula dengan kualitas SDM, keterbatasan dana dan manajemen.
Budaya terhadap sains dan teknologi juga belum memiliki bukti telah berkembang secara memadai. Hal ini tercermin dari pola pikir masyarakat yang belum bisa dianggap mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul, dan mandiri. Pola pikir masyarakat masih belum suka berkreasi, mencipta, suka membuat maupun belajar. Selain itu, secara umum dapat terlihat mekanisme intermediasi sains dan teknologi yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia sains dan teknologi dengan kebutuhan pengguna juga belum optimal. Hal ini bisa dibuktikan dengan belum tertatanya infrastruktur sains dan teknologi, seperti institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan sains dan teknologi menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi.
Permasalahan lain yakni lemahnya sinergi kebijakan sains dan teknologi antar lembaga nasional. Keadaan ini menyebabkan kegiatan sains dan teknologi belum sanggup memberikan hasil yang signifikan. Kebijakan bidang pendidikan, industri, dan sains dan teknologi belum terintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna yaitu industri. Di samping itu kebijakan fiskal dan non-fiskal (moneter) juga dirasakan belum kondusif bagi pengembangan kemampuan sains dan teknologi.
Selanjutnya, rendahnya daya saing sains dan teknologi nasional juga disebabkan belum maksimalnya kelembagaan litbang. Lembaga penelitian dan pengembangan Iptek masih sering diartikan dengan institusi yang sulit berkembang atau bahkan dianggap sebagai tempat untuk memperpanjang usia kerja para pegawai negeri. Selain itu, kegiatan penelitian yang dilakukan nyaris tidak didorong oleh kebutuhan penelitian yang jelas dan eksplisit. Ini menyebabkan lembaga-lembaga litbang tidak memiliki kewibawaan sebagai sebuah instansi yang memberi pijakan "scientific" bagi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Akibatnya, terjadilah inefisiensi yang luar biasa akibat duplikasi penelitian atau plagiarisme. Dampak lainnya adalah merapuhnya budaya penelitian sebagai pondasi kelembagaan riset dan teknologi, seperti yang terjadi pada sektor pendidikan. Ini berarti pendidikan di Indonesia dapat dikatakan telah gagal menanamkan karakter budaya bangsa yang memiliki rasa ingin tahu, budaya belajar dan apresiasi yang tinggi pada pencapaian ilmiah (Zuhal, 2007).
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya sebagai penyebab rendahnya daya saing sains dan teknologi yakni belum terkaitnya kegiatan riset dengan kebutuhan nyata. Kelembagaan litbang yang belum dapat berfungsi secara maksimal disebabkan manajemen yang lemah. Seorang peneliti yang hebat, belum tentu memiliki ketrampilan dan sikap manajerial yang dibutuhkan untuk memimpin sebuah lembaga litbang. Selain itu, perkembangan manajemen penelitian dan pengembangan sains dan teknologi di Indonesia jauh tertinggal. Dari ratusan peneliti tangguh di tanah air, hanya sebagian kecil yang memiliki kemampuan memimpin lembaga litbang sebagai sebuah entitas manajemen. Selain itu, kursus-kursus manajemen (proyek) penelitian dan pengembangan amat jarang dilakukan dan kalaupun ada, ditawarkan oleh pihak asing dengan biaya kursus yang mahal.
Masalah dan kendala di atas secara langsung telah menghambat perkembangan sains dan teknologi di Indonesia. Oleh karena itu, masalah-masalah di atas perlu mendapat perhatian serius dan penanganan yang tepat dari berbagai pihak terkait. Tanpa perhatian semua pihak dalam mengatasi masalah di atas, maka mustahil daya saing sains dan teknologi nasional dapat melewati negara-negara ASEAN.